Tuesday 24 February 2009

Reasuransi Non-Proportional

Penempatan reasuransi bisa pula dilakukan secara non-proportional, dimana tidak ada kesimbangan antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang mengadakan perjanjian dalam hal pembagian risiko, premi dan liability ketika terjadi kerugian.

Perusahaan reasuransi yang sudah menerima premi sejak awal dan memperoleh exposure risiko sebagai konsekwensi-nya, tidak serta merta menjadi liable ketika terjadi klaim. Pada reasuransi non-proportional ini, ditentukan suatu nilai tertentu sebagai batasan klaim mana yang menjadi beban perusahaan asuransi maupun yang nantinya bisa ditagihkan ke perusahaan reasuransi.

Nilai ini dikenal sebagai deductible atau excess point atau priority atau net retention atau underlying retention.


Misalnya, untuk penutupan sebuah obyek bernilai IDR 100 milyar. Disepakati bahwa IDR 10 milyar merupakan excess point. Semisal premi yang harus dibayarkan oleh seorang tertanggung atas polis asuransi tersebut sebesar IDR 200 juta. Pembagian premi antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi tidak berdasarkan suatu porsi tersendiri (non-proportional). Perhitungan premi resuransi non-proportional dilakukan terpisah. Misalnya menggunakan exposure rating, dsb.

Bisa jadi, dengan beban risiko sebesar IDR 90 milyar (90%) yang ditanggung oleh perusahaan reasuransi, premi yang diterima hanya sebesar IDR 40 juta (20%). Sementara perusahaan asuransi yang menanggung beban risiko sebesar 10% (IDR 10 milyar) menerima porsi premi sebesar 80% (IDR 180 juta).

Untuk diingat, memang dalam reasuransi non-proportional, tidak ada keseimbangan di antara komponen risiko, premi dan liability.

Demikian pula halnya ketika terjadi klaim, misalnya sebesar IDR 1,5 milyar. Maka 100% klaim ditanggung sendiri oleh perusahaan asuransi. Demikian pula halnya bila terjadi klaim lain sebesar IDR 8,5 milyar, semua klaim juga ditanggung sendiri oleh perusahaan asuransi.

Perusahaan reasuransi hanya terlibat manakala terjadi klaim di atas IDR 10 milyar. Misalnya terjadi klaim lain lagi sebesar IDR 50 milyar, maka beban perusahaan asuransi adalah sebesar IDR 10 milyar, sedangkan sisanya sebesar IDR 40 milyar ditagihkan ke perusahaan reasuransi.

Contoh yang sesuai menggambarkan mekanisme reasuransi non-proportional ini adalah dalam hal penutupan asuransi pada umumnya. Ambil contoh pada kasus asuransi kendaraan bermotorm.

Seorang tertanggung yang memiliki obyek bernilai IDR 100 juta, membayar premi IDR 3 juta. Polis asuransi mengatur own retention sebesar IDR 200 ribu.

Sepanjang periode polis, walaupun secara kontrak disebutkan bahwa perusahaan asuransi akan memberikan ganti rugi kepada nasabahnya manakala terjadi musibah, tetapi tidak setiap kerugian membuat perusahaan asuransi menjadi liable.

Misalnya ketika nasabahnya mengalami kehilangan tutup pentil ban, seharga IDR 5 ribu. Klaim ini secara contractual bisa ditagihkan ke perusahaan asuransi. Namun perusahaan asuransi serta merta akan menolak klaim, karena nilain klaim-nya masih dalam tanggungan sendiri nasabah.

Bila nasabah menderita kerugian akibat tabrakan senilai IDR 4 juta, maka klaim ini bisa ditagihkan ke perusahaan asuransi. Ganti rugi yang diberikan adalah sebesar IDR 3,8 juta (setelah dikurangi own retention).

Reasuransi non-proportional umumnya menggunakan loss occurring basis, dimana perusahaan reasuransi hanya akan liable atas klaim sesuai dengan periode terjadinya klaim --- bukan berdasarkan periode terbitnya polis.


*_*








*_* *_* *_* *_* *_* *_* *_* *_*





for a greener life -

our mother earth is in need of help... we actually can do a little help... think twice - or even trice - before printing this message...





*_* *_* *_* *_* *_* *_* *_* *_*

Proportional Reinsurance

Penempatan Reasuransi bisa dilakukan secara Proportional, artinya terdapat keseimbangan antara (1) besaran risiko (2) premi dan (3) liability bilamana terjadi klaim.

Ketiga elemen di atas akan terus berjalan secara seimbang pada setiap kesempatan.

Semisal pada suatu penutupan risiko bernilai IDR 150 milyar. Dengan kapasitas akseptasi yang dimiliki oleh sebuah perusahaan asuransi sebesar IDR 50 milyar, maka terdapat excess (kelebihan) risiko sebesar IDR 100 milyar lagi. Untuk itu perusahaan asuransi membutuhkan mekanisme reasuransi untuk mengalihkan risiko tsb (sesuai peraturan perundangan yang berlaku - red).

Apabila perusahaan asuransi itu mengambil cara dengan men-sesikan risiko (excess tadi) kepada para perusahaan reasuransi secara proportional, maka 1/3 merupakan bagian dari perusahaan asuransi, sedangkan 2/3 bagian perusahaan reasuransi.

Porsi 1/3 dan 2/3 ini bertahan terus untuk perhitungan (1) pembagian risiko, (2) pembagian premi, dan (3) pembagian klaim.

Bila premi yang harus dibayarkan oleh tertanggung untuk penutupan di atas adalah sebesar IDR 45 juta, maka IDR 15 juta (= 1/3 bagian) merupakan hak perusahaan asuransi dan IDR 30 juta (= 2/3 bagian) merupakan hak perusahaan reasuransi.

Bilamana terjadi klaim, misalnya sebesar IDR 30 milyar. Perusahaan asuransi hanya akan menanggung klaim sebesar IDR 10 milyar (= 1/3 bagian) sedangkan sisanya ditagihkan ke reasuradur (= 2/3 bagian = IDR 20 milyar).

Demikian pula halnya bila terjadi klaim lain sebesar IDR 1 (satu rupiah). Walaupun bernilai sangat kecil, namun bukan berarti perusahaan asuransi akan menanggung seluruh klaim tsb. Perusahaan reasuransi yang sudah menerima premi, tetap liable atas klaim dan menanggung IDR 0,67 (= 2/3 bagian klaim). Sedangkan perusahaan asuransi hanya menanggung IDR 0,33.

Contoh sederhana pada proses Reasuransi Proportional ini adalah pada saat tiga orang bersepakat untuk membuat partnership pada suatu usaha. Bila usaha tersebut membutuhkan dana sebesar IDR 300 juta, maka masing-masing pihak akan dimintakan berpatungan sebesar IDR 100 juta (masing-masing 1/3 bagian).. Bila usaha itu kelak menghasilkan laba sebesar IDR 45 juta, maka masing-masing pihak akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp.. 15 juta (masing-masing 1/3 bagian). Di sisi lain, apabila usaha itu menyebabkan kerugian sebesar IDR 15 juta, maka masing-masing pihak akan dimintakan dana sebesar IDR 5 juta untuk menutupi kerugian tsb.

Satu catatan tambahan dalam penempatan reasuransi proportional ini bahwa pada umumnya, hubungan antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi berdasarkan risk attaching, artinya melihat pada periode dimana risiko mulai melekat (polis mulai terbit).

Penempatan reasuransi proportional ini bisa dilakukan dalam bentuk facultative maupun treaty.

*_*







***


Our Mother Earth is in need of help. We actually can do a little help. Think twice --- or even trice --- before printing this message.


***



Please visit our website at www.belajar-asuransi.tk

Saturday 21 February 2009

Cermat dalam Memilih Asuransi

Krisis finansial yang melanda Amerika Serikat yang ditandai dengan ambruknya sejumlah lembaga pembiayaan seperti Lehman Broters membuat dampaknya dirasakan dunia.

Gelombang ancamannya membuat dunia ikut terkena dampaknya. Bursa global pun tak terkecuali, sektor ini yang merupakan lokasi investasi bagi segelintir orang dan perusahaan juga rontok. Bahkan,sejumlah negara menyiapkan paket stimulus untuk menyelamatkan krisis ini.

Dunia asuransi tidak terlepas dari bayang-bayang krisis ini, khususnya yang berbentuk unit link. Hal ini karena instrumen investasi asuransi unit link yang sebagian dananya disimpan dalam bentuk investasi di bursa.Dengan kondisi bursa yang mulai rontok, tentu akan membuat asuransi yang berbasis ini akan mengalami pukulan hebat.

Pada 2009 ini, bahkan diprediksi prospek asuransi unit link akan tidak menjanjikan. Pasalnya,sumber investasi dana asuransi unit link seperti bursa ini sedang mengalami guncangan akibat pengaruh krisis ekonomi Amerika Serikat (AS). Asuransi yang berbasis investasi pada 2009 akan redup karena prospek investasi di bursa sedang turun.

Asuransi unit link yang berbasis investasi sekarang mempunyai risiko yang besar. Bahkan, asuransi unit link ini sebenarnya tidak pantas untuk disebut asuransi karena lebih menitikberatkan pada investasi daripada perlindungan diri.

Padahal sebagai hakikat asuransi lebih mengutamakan perlindungan daripada investasi sehingga orang-orang yang membeli asuransi akan terlindungi jika terjadi sesuatu pada dirinya. Kalau asuransi unit link itu mementingkan investasi sehingga sesungguhnya lebih disebut sebagai investasi yang diembel-embeli asuransi.

Hal ini diperumpamakan,dengan uang Rp100 juta, Rp99 juta itu untuk investasi, sedangkan Rp1 juta yang hanya untuk asuransi. Melihat perbandingan ini, apa pantas disebut sebagai asuransi.Makanya istilah yang telat adalah investasi yang ditempeli dengan asuransi.

Dengan demikian, dalam melihat prospek asuransi unit link ini sama dengan melihat prospek investasi lainnya.Pasalnya, lebih mengutamakan investasi,sedangkan sekarang kondisi bursa sedang tidak menentu, tentu prospek asuransi unit link sekarang menjadi tidak bagus. Maka investasi yang menekankan investasi pada saham di bursa dan reksa dana sekarang bukan langkah yang tepat.

Melihat perkembangan situasi sekarang yang masih belum menguntungkan bagi investasi di sana. Namun, hal ini apakah sudah diketahui para konsumen, juga masih ragukan.Apalagi bagi kaum awam yang belum terlalu paham dalam asuransi, maka model unit link menjadi sebuah pilihan.

Padahal dalam situasi sekarang, investasi pada asuransi jenis ini menjadi tidak menguntungkan. Komitmen kuat dari perusahaan serta agen untuk menawarkan produk asuransinya dengan jujur harus dilakukan. Mereka hendaknya memberikan penjelasan secara detail terhadap produk yang ditawarkan.

Jangan sampai konsumen menjadi korban akibat ulah mereka yang tidak transparan dalam menawarkan produk. Bagi masyarakat awam memahami asuransi unit link akan sulit sehingga mereka terkadang langsung membeli. Untuk itu, sebelum membeli produk asuransi jenis ini harus diperhatikan secara cermat berbagai keuntungan dan potensi yang didapatkan dari membeli setiap produk asuransi unit link yang ditawarkan.

Saat ini hampir semua perusahaan menjual produk asuransi unit link ini sehingga konsumen perlu lebih cermat agar tidak dirugikan.Transparansi dari setiap perusahaan dan agen dalam mempromosikan produk yang ditawarkan termasuk berbagai risiko dari produk yang dibeli. Dengan begitu, konsumen akan mengerti dan dapat menentukan pilihan yang tepat dalam membeli asuransi.

Saat ini sudah diperlukan langkah review ulang terhadap pemasaran produk unit link ini sehingga sebenarnya unit link yang merupakan investasi yang ditempeli asuransi ini lebih jelas. Sekarang banyak produk yang dijual dengan asuransi yang berbasis asuransi,ini harus diatur lebih lanjut oleh pemerintah sehingga ke depan produk ini benar-benar sesuai dengan tujuannya.

Walaupun prospek asuransi unit link ini pada tahun 2009 kurang laku,bukan berarti produk ini akan ditinggalkan. Namun, untuk konsumen yang ingin membeli asuransi hendaknya dapat mencermati produk yang ditawarkan sehingga dalam memutuskan untuk membeli tidak ada keraguan dan penyesalan di kemudian hari.

Dalam membeli asuransi saat ini,ada baiknya konsumen dapat melihat tujuan daripada pembelian. Jika memang menginginkan asuransi untuk perlindungan, maka belilah produk asuransi perlindungan yang tidak ada embel-embel investasinya.

Dengan langkah ini,maka konsumen tidak akan merugi. Pada intinya, jika ingin membeli asuransi, lihatlah kebutuhan yang Anda inginkan, dan beli produk yang benar-benar asuransi, bukan investasi yang ditempeli asuransi. Melainkan asuransi yang melindungi diri atau lainnya, tanpa ada embelembel investasi.



*)Disarikan dari wawancara

Oleh : Munir Sjamsoeddin

Friday 20 February 2009

Perseteruan Bakrie versus Bosowa Berakhir


Terbukti melakukan manipulasi data izin penyiaran, klaim asuransi milik Bakrie Corrugated terhadap Asuransi Bosowa gagal. Penolakan klaim oleh Bosowa bukan wanprestasi

PT Bakrie Corrugated Metal Industry (Bakrie) harus menelan pil pahit. Setelah dua tahun lebih memperjuangkan klaim asuransi ke PT Asuransi Bosowa Periskop (Bosowa), perjuangan itu kandas di tangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Gugatan ditolak seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Panusunan Harahap saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (18/2).

Bosowa tidak terbukti melakukan wanprestasi sebagaimana tudingan Bakrie. Majelis hakim menilai gugatan Bakrie hanya terfokus pada azas perlindungan asuransi. Namun Bakrie mengabaikan kewajiban untuk memenuhi syarat klaim yang ditentukan Marine Cargo Open Policy (MCOP)—polis asuransi atas pengangkutan barang di laut.

Walaupun penandatanganan perjanjian asuransi telah dilakukan, Bakrie tidak bisa mendapatan proteksi mutlak. Pengajuan klaim harus sesuai dengan syarat perlindungan dalam MCOP. Untuk itu, kata Majelis Hakim, klaim penggugat tidak berdasarkan hukum.

Sementara kuasa hukum Bakrie, Ramly, berpendapat jika perusahaan asuransi sudah menerbitkan polis, maka pertanggungan resiko sudah beralih. Sehingga Bosowa harus tetap membayarkan klaim ke Bakrie. Dengan tenggelamnya kapal tongkang, lanjut Ramly, Bakrie mengalami kerugian atas nilai barang. Kerugian lainnya adalah kehilangan pendapatan dan keuntungan, serta hilangnya kepercayaan pihak ketiga. Total kerugian senilai Rp18,438 miliar.

Dalam posita (dasar gugatan) dijelaskan, Bosowa telah cidera janji karena tidak membayar klaim asuransi atas kecelakaan kapal tongkang milik Bakrie. Dasar hukumnya adalah Pasal 1243 jo Pasal 1338 jo Pasal 1339 jo Pasal 1342 KUHPerdata.

Padahal Bakrie telah mengasuransikan kapal tongkang itu kepada Bosowa. Polis asuransi itu tercatat dalam MCOP No. 005/MCOP/ABP-JKT.CM/2006 tanggal 8 Maret 2006. Periode perlindungan diberikan 12 bulan terhitung sejak polis ditandatangani hingga 8 Maret 2007.

Setelah pelunasan pembayaran polis, Bakrie kemudian melakukan pengangkutan pertama pada 14 Agustus 2006. Pengangkutan yang tercatat dalam Schedule MCOP itu memuat material untuk pembangunan jembatan Batanghari II di Jambi. Namun belum sampai ke tujuan, kapal tongkang milik Bakrie mengalami kecelakaan sehingga barang-barang yang diangkut raib.

Menyembunyikan Fakta


Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai alat angkut penggugat tidak sesuai (unclassed). Penguggat terbukti menyembunyikan fakta itu. Dalam jawaban Bosowa dijelaskan, pengangkutan barang yang dijamin pertanggungan adalah pengangkutan laut yang menggunakan tongkang dengan jenis 100 gross register tonase (GRT). Sementara Bakrie menggunakan tongkang berjenis TB Virgo berbendera Indonesia yang hanya 51 GRT.

Bukti Standard Marine Communication Phrases (SMCP) yang diajukan penggugat pun diragukan Majelis Hakim. Sebab terdapat ada dua surat dengan nomor yang sama namun berbeda tanggal. Pengugat terbukti memaipulasi data izin berlayar sehingga prinsip kelaikan pengangkutan laut (sea worthy) tidak terpenuhi.

Dalam surat izin berlayar disebutkan, tidak ada muatan dalam kapal alias nil. Hal itu sesuai dengan Surat Pernyataan Keberangkatan Kapal (Sailing Declaration) tanggal 11 Agustus 2006. Nyatanya, saat terjadi kecelakaan pada 13 Agustus 2006, kapal tongkang memuat material untuk pembangunan jembatan Batanghari II di Jambi.

Selain itu, dalam MCOP disyaratkan, pertanggungan di atas Rp 3 miliar harus dilakukan survei yang lengkap (satisfactory surveyed) oleh Independent Marine Sureyor. Yakni pemeriksaan alat angkut secara keseluruhan, termasuk nilai dan jenis barang yang diangkut. Sementara survei Independent Marine Sureyor oleh PT Proteknika Jasapratama yang diajukan penggugat, terbatas pada towing and lasing survey (penarik dan pengikat survei).

Saat dihubungi melalui telepon, Ramly menyatakan akan berkonsultasi dengan dengan pihak Bakrie untuk menentukan sikap. Ia menyatakan belum bisa berkomentar banyak karena belum menerima salinan putusan. Ramly sendiri tidak hadir di persidangan.

Kuasa hukum Bosowa, Rudyantho, menyatakan pertimbangan hakim sudah sesuai dengan fakta dan bukti yang diajukan ke persidangan. “Kita puas apa yang kita perjuangkan bisa diterima dan meyakinkan hakim,’ ujarnya.

(Mon)

hukumonline.com





*_*
Our mother earth is in need of help. We actually can do a little help. Think twice - or even trice - before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
*_*

Monday 9 February 2009

KONTAN: Banyak Broker Asuransi Belum Penuhi Aturan Modal Minimum

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mengakui masih banyak broker asuransi yang belum memenuhi persyaratan modal minimum Rp 1 miliar.

Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata menyebutkan dari 140 broker asuransi yang beroperasi, baru 95 -100 perusahaan yang telah menyampaikan laporan keuangan mereka. Dari laporan keuangan itu terlihat cuma ada 65 broker asuransi yang telah memenuhi ketentuan modal minimum Rp 1 miliar. "Kami masih harus mengecek rencana kerja tiap perusahaan satu per satu," ujar Isa, Jumat (6/2).

Saat ini Bapepam sedang berkonsentrasi membereskan permodalan usaha broker asuransi. Setelah semua broker asuransi sehat dan berkinerja baik, tahapan selanjutnya adalah, menyehatkan perusahaan.

Bapepam juga terus mendesak broker asuransi agar segera menyelesaikan laporan keuangan mereka. Sedangkan bagi yang sudah memberikan laporan keuangan tapi modalnya masih dibawah ketentuan juga tak akan luput dari surat peringatan hingga pencabutan izin operasi perusahaan.

Bagi perusahaan yang belum menyampaikan laporan keuangan dan rencana kerja mereka, Bapepam LK masih memberikan tenggat waktu hingga Maret 2009.

Bapepam LK juga mendorong broker dan perusahaan asuransi yang cekak modal agar menggabungkan diri dengan perusahaan lain yang lebih sehat. Tapi hingga saat ini Isa mengaku belum ada satupun perusahaan yang mengajukan rencana merger.

Isa juga menyarankan kepada pemilik usaha asuransi yang tak sanggup menambah modal agar segera memenuhi kewajiban pada nasabahnya dan kemudian memutuskan untuk mengembalikan izin operasinya ke Bapepam. "Tapi, meskipun sudah ada perusahaan asuransi menyatakan self liquidation, Bapepam tetap mewajibkan ada laporan berkala," ujar Isa Rachmatarwata.

Bapepam LK tak cuma menertibkan asuransi konvensional. Sebab perusahaan asuransi syariah juga masih banyak yang modalnya kurang dari syarat Rp 5 miliar.

Source: KONTAN




***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

BISNIS INDONESIA: 25 Broker Asuransi Bermodal Cekak

25 Broker Asuransi Bermodal Cekak


Setidaknya sebanyak 25 perusahaan pialang asuransi dan reasuransi belum memenuhi ketentuan modal minimum Rp1 miliar yang harus dipenuhi 31 Desember 2008.

Jumlah tersebut merosot tajam dibandingkan dengan data yang dihimpun Biro Perasuransian Bapepam-LK berdasarkan laporan keuangan perusahaan 2007 di mana lebih dari 89 perusahaan pialang terdiri dari 78 asuransi dan 11 reasuransi belum memenuhi ketentuan itu.

Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata mengatakan jumlah itu kemungkinan bukan angka sebenarnya karena hingga akhir pekan lalu masih banyak perusahaan broker asuransi dan reasuransi yang belum menyampaikan laporannya. Padahal tenggat waktu penyerahan laporan 31 Januari sudah lewat.

Dia mengatakan dari sekitar 140 perusahaan pialang asuransi dan reasuransi, Biro Perasuransian baru menerima laporan dari sekitar 95-100 perusahaan.

"Sekitar 65 perusahaan sudah dipastikan memenuhi ketentuan modal Rp1 miliar," ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, dari laporan yang masuk itu sekitar 10 perusahaan sudah sangat mendekati angka yang dipersyaratkan atau di atas Rp900 juta.

"Walau mendekati tetap saja dalam laporan mereka belum memenuhi itu. Saya harus cek lagi apa ada laporan terpisah yang menyatakan adanya penambahan modal pada Januari sampai Maret ini," tuturnya.

Dia mengatakan 25 perusahaan yang memiliki modal di bawah Rp1 miliar itu juga belum tentu tidak memenuhi ketentuan modal. Isa mengatakan Biro Perasuransian akan mencocokkan rencana kerja perusahaan satu per satu dengan laporan yang masuk.

Merger


Isa mengatakan Biro Perasuransian belum berencana memfasilitasi merger antarperusahaan broker. Dia berharap Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia (ABAI) untuk berperan lebih aktif mendorong proses itu di industri.

"Rasanya effort asosiasi akan lebih efektif, sejauh ini tidak ada laporan mengenai kesulitan merger di broker."

Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Teknik, Kemajuan Anggota, dan Pendidikan ABAI Kristinan Benny Hapsoro mengakui kemungkinan angka perusahaan yang belum memenuhi ketentuan jauh lebih besar dari 25 perusahaan. Dia mengatakan biasanya perusahaan yang tidak memasukkan laporan juga bermasalah.

Menurut Benny pengurus asosiasi sudah berusaha mendapatkan data dari anggota untuk membantu proses merger di antara mereka, tetapi hingga tenggat waktu yang ditentukan permintaan itu tidak direspons. "Tanpa data kami tidak mengetahui siapa yang membutuhkan bantuan untuk merger," katanya.

PP No. 39/2008 mensyaratkan perusahaan asuransi memenuhi modal Rp100 miliar dan reasuransi Rp200 miliar pada 2010. Unit syariah Rp25 miliar dan perusahaan murni syariah Rp50 miliar.

Source: Bisnis Indonesia




***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Monday 2 February 2009

DETIK: 19 Izin Usaha Perusahaan Perasuransian Dicabut Selama 2008


Biro Perasuransian Bapepam LK, selama tahun 2008 telah mencabut 19 izin usaha perusahaan perasuransian. Sementara izin usaha baru diberikan kepada 10 perusahaan perasuransian di 2008.

Berikut rincian dari 19 izin usaha perusahaan perasuransian yang dicabut, seperti dikutip detikFinance dari laporan akhir tahun 2008 Bapepam LK, Kamis (1/1/2009).
  • Perusahaan Asuransi Jiwa: 1 perusahaan
  • Perusahaan Asuransi Kerugian: 2 perusahaan
  • Perusahaan Pialang Asuransi/Reasuransi: 7 perusahaan
  • Penilai Kerugian: 6 perusahaan
  • Konsultan Aktuaria: 3 perusahaan.

Sementara izin usaha perusahaan perasuransian yang diberikan selama tahun 2008 terdiri dari:
  • Pialang asuransi: 6 perusahaan
  • Konsultan Aktuaria: 1 perusahaan
  • Penilai kerugian asuransi: 1 perusahaan
  • Agen Asuransi: 2 perusahaan.

Bapepam mencatat, jumlah perusahaan asuransi di Indonesia hingga 19 Desember 2008 mencapai 382 perusahaan yang terdiri dari 140 perusahaan asuransi, 4 perusahaan reasuransi dan 238 perusahaan penunjang usaha asuransi.

Untuk perusahaan asuransi terdiri dari 45 perusahaan asuransi jiwa, 90 asuransi kerugian, 2 penyelenggara program asuransi sosial dan jamsistek, 3 perusahaan penyelenggaran asuransi untuk PNS dan TNI/Polri.

Perusahaan penunjang usaha asuransi terdiri dari 153 perusahaan pialang asuransi, 15 perusahaan pialang reasuransi, 28 perusahaan penilai kerugian asuransi, 32 perusahaan konsultan aktuaria dan 10 perusahaan agen asuransi.

Sepanjang tahun 2008, perusahaan asuransi jiwa yang memasarkan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau unitlink pada tahun 2008 mencapai 24 perusahaan.

Sedangkan jumlah permohonan persetujuan untuk memasarkan produk asuransi baru dari perusahaan asuransi jiwa dan asuransi kerugian pada tahun 2008 sebanyak 401 produk asuransi. Dari total permohonan persetujuan produk asuransi baru tersebut, jumlah yang disetujui adalah 233 produk baru, dengan 12 produk diantaranya adalah produk syariah.

Adapun permohonan untuk memasarkan produk asuransi melalui kerjasama dengan bank atau bancassurance dari perusahaan asuransi pada tahun 2008 mencapai 49. Dari total permohonan tersebut, jumlah yang disetujui adalah 25 permohonan, 1 diantaranya merupakan persetujuan bancassurance untuk memasarkan produk asuransi syariah.


Source: Detikfinance.com


***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Sunday 1 February 2009

Jasindo Peroleh Rating B++ dari AM BEST

Berdasarkan data yang diterima dari website resmi AM BEST (http://www.ambest.com/) diperoleh informasi bahwa PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau yang lebih dikenal sebagai Asuransi Jasindo, merupakan perusahaan asuransi pertama di Indonesia yang mendapatkan pengakuan dari AM Best. Adapun rating yang diperoleh adalah B++ (good) atau setara BBB di rating Standard & Poors.

Rating ini merupakan sebuah achivement yang cukup luar biasa, mengingat saat ini S&P sendiri masih menilai country risk (sovereign rating) negara Indonesia masih dalam level BB- (vulnerable), sedangkan AM BEST sendiri mengkategorikan Indonesia dalam TIER III.


Sebagaimana diketahui bahwa country risk merupakan salah satu faktor penilaian terpenting dalam menentukan rating sebuah perusahaan asuransi. Di dalam penilaian rating terdapat dua skala, yaitu NSR = nasional scale rating dan GSR = global scale rating. NSR tidak memperhitungkan country risk, karena hanya berlaku di negara ybs. Sedangkan GSR memperhitungkan segala aspek, termasuk country risk, karena rating ini nantinya berlaku setara di seluruh dunia. Rating level GSR ini yang diakui oleh regulasi di berbagai negara, utamanya bagi perusahaan asuransi dalam mencari panel reasuransi-nya (sebagaimana di Indonesia minimal BBB).


Sebagai informasi tambahan, bahwa sudah ada beberapa perusahaan asurasi & reasuransi di Indonesia yang sudah mendapatkan rating. Namun perlu ditegaskan kembali, bahwa rating-rating yang mereka peroleh hanyalah bersifat LOKAL dan tidak diakui di dunia internasional.


Selamat kami ucapkan kepada Manajemen Asuransi Jasindo yang sudah membuka jalan bagi perusahaan asuransi nasional untuk mendapatkan pengakuan secara internasional. Luar biasa!!!

Salam BELAJAR ASURANSI





source: www.ambest.com, www.yahoo.com


***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Friday 30 January 2009

A.M. Best Assigns Ratings to PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero)

A.M. Best Assigns Ratings to PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero)

CONTACTS:

Analyst(s)

Terrence Wong
+852-2827-3403
terrence.wong@ambest.com

Arina Tek
+852-2827-3424
arina.tek@ambest.com

Public Relations

Jim Peavy
+(1) 908 439 2200, ext. 5644
james.peavy@ambest.com

Rachelle Morrow+(1) 908 439 2200, ext. 5378
rachelle.morrow@ambest.com



FOR IMMEDIATE RELEASE



OLDWICK, N.J., JANUARY 29, 2009A.M. Best Co. has assigned a financial strength rating of B++ (Good) and an issuer credit rating of "bbb" to PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) (Jasindo) (Indonesia). The outlook for both ratings is stable.The ratings reflect Jasindo's solid track record of operating performance, sound liquidity, diversified short-tailed insurance book and sound overall operating profitability. The ratings also acknowledge the company's market presence in Indonesia and initiative in expanding its personal lines book. Jasindo is entirely owned by the government of the Republic of Indonesia. Given its long operating history, the company has accumulated a diversified book of business. In addition to using the conventional intermediary channels, Jasindo disseminates its risk products through banking institutions as well as direct channels, which include 50 branch offices and 39 sales representative offices spread throughout Indonesia and one overseas branch office in Labuan, Malaysia. Jasindo achieved an average premium growth of 14.3% over the past five years from 2003 to 2007, notwithstanding a slight premium contraction in 2007. With its leading position in aviation, energy and marine hull, the company has captured more than 10% market share, ranking it second in the Indonesian non-life market. Jasindo's risk-based capitalization, as measured by Best's Capital Adequacy Ratio (BCAR), is commensurate with the assigned ratings, although further business growth could potentially put a strain on the company's financial strength. Jasindo maintains sound liquidity within its invested assets to support potential claims arising from its insurance book. Approximately 30.8% of Jasindo's total assets in 2007 were allocated in cash and time deposits. In light of the recent financial turmoil, Jasindo's investments remained sound for the first nine months of 2008, partially due to its prudent asset mix.Offsetting factors include volatile net claim experience, a relatively high expense ratio and concentration risk associated with its dependence on several key clients. The ratings also recognize the exposure to catastrophe perils and the intensifying market competition.Claims experience from aviation, marine hull, energy and property has exacerbated the company's underwriting volatility over the past five years. The company's overall net loss ratio consistently trended upward from 36.9% in 2003 to 52.9% in 2007. Regardless of the inflow reinsurance commission from reinsurers, Jasindo's expense ratio was high relative to that of its Asian peers. A high cost structure along with a volatile underwriting result undermined the stability of Jasindo's underwriting profitability, although a favorable investment return enhanced the company's overall operating profitability in recent years. Jasindo is subject to the concentration risk in terms of premium source associated with its reliance on a few major corporate clients. Nonetheless, to achieve a better spread of risk and mitigate potential underwriting volatility in relation to its corporate book, Jasindo plans to further expand its retail book going forward. In view of the current competitive market landscape, Jasindo's ability to grow its personal lines book with a profitable result will be crucial in determining the sustainability of its underwriting margin.As with other non-life market participants in Indonesia, the company is exposed to various catastrophic perils such as volcanic eruptions and tsunamis. Jasindo is heavily dependent on reinsurance coverage as a means to protect its capital base against undue catastrophic risk. For Best's Ratings, an overview of the rating process and rating methodologies, please visit Best's Rating Center. The principal methodologies used in determining these ratings, including any additional methodologies and factors, which may have been considered, can be found at Best's Rating Methodology. Founded in 1899, A.M. Best Company is a global full-service credit rating organization dedicated to serving the financial and health care service industries, including insurance companies, banks, hospitals and health care system providers.

View a list of companies related to this press release. The list will include Best's Ratings along with links to additional company specific information including related news and reports.

A.M. Best’s credit ratings are independent and objective opinions, not statements of fact. A.M. Best is not an Investment Advisor, does not offer investment advice of any kind, nor does the company or its Ratings Analysts offer any form of structuring or financial advice. A.M. Best’s credit opinions are not recommendations to buy, sell or hold securities, or to make any other investment decisions. A.M. Best receives compensation for interactive rating services provided to organizations that it rates. A.M. Best may also receive compensation from rated entities for non-rating related services or products offered by A.M. Best. A.M. Best does not offer consulting or advisory services. For more information regarding A.M. Best’s rating process, including handling of confidential (non-public) information, independence, and avoidance of conflicts of interest, please read the A.M. Best Code of Conduct.


Copyright © 2008 by A.M. Best Company, Inc.

ALL RIGHTS RESERVED No part of this report may be distributed in any electronic form or by any means, or stored in a database or retrieval system, without the prior written permission of the A.M. Best Company. Refer to our terms of use for additional details.


***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Bapepam Ubah Syarat Kelulusan Direksi dan Komisaris Asuransi

Source: detikfinance.com


Bapepam LK mengubah aturan syarat kelulusan direksi dan komisaris perusahaan asuransi. Dengan perubahan ini perusahaan asuransi diharapkan akan dikelola dan diawasi oleh prefesional yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi.

Selain itu, perubahan ini dimaksudkan agar penilaian kemampuan dan kepatutan anggota direksi dan dewan komisaris asuransi lebih efektif, efisien dan obyektif dan selaras dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.O5/2007 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.

Perubahan peraturan ini tertuang dalam menyempurnakan sekaligus menggantikan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 3603/LK/2004 tentang Pedoman Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian.

Ketua Bapepam LK Fuad Rahmany dalam siaran persnya, Kamis (29/1/2009) menjelaskan, aturan ini mengubah syarat kelulusan direksi dan komisaris asuransi. Setiap pihak bisa lulus bila memperoleh penilaian:

a. untuk direksi, memperoleh minimal nilai faktor kompetensi sebesar 65% dari total nilai faktor kompetensi dan hasil penilaian faktor integritas sebesar 65% dari total nilai faktor integritas serta hasil penjumlahan nilai faktor kompetensi daan nilai faktor integritas minimal sebesar 65 dan tidak terdapat nilai 0 pada faktor integritas.

b. untuk kornisaris, memperoleh minimal nilai faktor kornpetensi sebesar 60% dari total nilai fak'tor kompetensi dan hasil penilaian faktor integritas sebesar 75 % dari total nilai faktor integritas serta hasil penjumlahan nilai faktor kompetensi dan nilai faktor integritas minimal sebesar 65 dan tidak terdapat nilai 0 pada faktor integritas.

Sementara karakteristik kelulusan bagi direksi dibagi menjadi:

1. Bagi pihak yang dinilai yang menjabat sebagai direktur yang membidangi teknik diklasifikasikan Lulus apabila telah memenuhi 100% dari persyaratan seperti tertulis di atas.

2. Bagi pihak yang dinilai yang menjabat sebagai direktur utama diklasifikasikan Lulus apabila telah memenuhi 95% dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

3. Bagi pihak yang dinilai yang menjabat sebagai direktur yang membidangi keuangan atau akuntansi diklasifikasikan Lulus apabila telah memenuhi 90% dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

4. Bagi pihak yang dinilai yang menjabat sebagai direktur yang membidangi pemasaran, kehumasan, personalia, SDM atau umum diklasifikasikan Lulus apabila telah memenuhi 85% dari persyaratan.


***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Tuesday 27 January 2009

Asuransi Jasindo Menargetkan Peningkatan Premi di tahun 2009


PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) Menargetkan Peningkatan Premi pada 2009. Menurut Direktur Utama Jasindo Eko Budiwiyono, peningkatan laba itu didasari naiknya class of busines Jasindo, dan perolehan laba sektor ritel yang cukup memberikan kontribusi.

Pada 2008, laba Jasindo mencapai Rp. 106 miliar atau naik 18 persen. Hal itu disebabkan oleh kenaikan premi yang lebih tinggi 18 persen dari 2007 dan pertanggungan lebih baik sehingga tingkat klaim bisa dikendalikan. ”Kita juga melakukan proses efisiensi sehingga lebih menghemat baya,” katanya. Ke depan, Jasindo akan lebih menggenjot segmen ritel yang selama ini mencapai 25 persen dari yang dtangani Jasindo, dan sisanya tertanggung korporasi sebesar 75 persen. Dalam lima tahunke depan, porsi ritel akan ditingkatkan menjadi 35 persen. ”Korporasi risikonya besar sekali, oleh karena itu korporasi kita akan reasuransikan ke perusahaan luar negeri,” katanya. Dalam mengantisipasi kondisi krisis global, yang diduga akan berimbas pada perseroan, Jasindo akan lebih berhati – hati pengelolaan risiko. Dia menyontohkan untuk penutupan satu perusahaan penerbangan, membutuhkan jutaan dollar sehingga harus dicover dengan reasuransi. ”Kita memilih rating tinggi untuk perusahaan reasuransi,” katanya.

Dapat ditambahkan bahwa produksi premi Jasindo di tahun 2008 lalu mencapai Rp.2,58 triliun.


Source: www.jasindo.co.id @ 27/01/2009




***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Monday 26 January 2009

Premi Asuransi Jasindo tahun 2008 sebesar Rp. 2,56 Triliun

PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero), atau yang lebih dikenal sebagai Asuransi Jasindo, berhasil membukukan kenaikan premi bruto sebesar 18,5%. Pada tahun 2007 Jasindo membukukan premi sebesar Rp. 2,16 triliun, sedangkan di tahun 2008 Jasindo berhadil membukukan premi sebesar Rp. 2,56 triliun. Kenaikan ini bersumber dari tiga pos perushaan tersebut yaitu korporasi, ritel dan syariah.

Direktur Utama Asuransi Jasindo Eko Budiwiyono mengutarakan pertumbuhan premi paling tinggi masih di pasar korporasi yang naik sebesar 20,6% menjadi Rp. 2,04 triliun, sedangkan untuk pasar ritel hanya sekitar Rp. 518 miliar atau tumbuh sebesar 10,5%.

"Saat ini, komposisi premi memang masih dominan di korporasi karena sejak awal perusahaan fokus di sana. Namun ke depan porsi ritel akan diperbesar agar menjadi lebih seimbang," demikian pernyataan Dirut yang juga terpilih sebagai salah satu CEO terbaik di Indonesia, saat jumpa pers di Kantor Pusat Asuransi Jasindo di Jakarta.

Eko menuturkan pihaknya juga mengalami peningkatan klaim asuransi menjadi Rp. 1,1 triliun dari 2007 sebesar Rp. 950 miliar. Kenaikan ini umumnya bersumber dari klaim akibat bencana alam dan kebakaran.inimalnya tumbuh sebesar 18% menjadi Rp. 106 miliar dari sebelumnya sebesar Rp. 90 miliar. Pertumbuhan ini menunjukkan kinerja baik yang dilakukan Manajemen Jasindo, utamanya dalam hal pengelolaan risiko.

Direktur Keuangan Jasindo Solihah mengatakan pengembangan investasi pada tahun lalu mencapai Rp850 miliar dengan komposisi terbesar masih pada deposito sekitar 45% dan sisanya dikembangkan dalam produk reksa dana, obligasi dan penyertaan langsung.

Hasil pengembangan investasi pada akhir 2008, ujarnya, mengalami penurunan menjadi Rp65 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp107 miliar karena pasar modal yang bergejolak.

"Tahun ini, perseroan masih akan memperbesar pengembangan investasi pada deposito menjadi sekitar 55% menyusul instrumen investasi yang masih sangat fluktuatif sehingga perlu lebih konservatif."

Pada kesempatan itu, Asuransi Jasindo secara resmi melakukan pemisahan unit syariahnya dengan membentuk Unit Usaha Takaful dalam rangka menggenjot pertumbuhan premi di pasar syariah pada tahun ini yang ditargetkan sebesar Rp50 miliar. Walaupun saat ini UUT masih dibentuk setara Biro di Kantor Pusat Jasindo, namun ke depannya diharapkan mampu mengembangkan diri menjadi sebuah Divisi, atau menjadi sebuah SBU tersendiri.

Eko mengatakan selama ini perseroan menggarap pasar asuransi syariah melalui Takaful Jasindo yang masih terintegrasi dengan konvensional sehingga perlu dipisahkan untuk memaksimalkan kinerja bisnisnya.

"Kami melihat permintaan pasar asuransi syariah semakin besar sehingga perseroan perlu lebih fokus menggarapnya. Untuk itu, pada 10 November 2008 dibantuk Unit Usaha Takaful untuk memaksimalkan bisnis asuransi syariah khususnya di sektor ritel," ujarnya.

Eko mengutarakan pertumbuhan bisnis asuransi syariah sampai akhir 2008 mencapai Rp22,5 miliar dan sampai pada 2010 diproyeksikan bisa mencapai Rp100 miliar.

Dia menuturkan pihaknya telah menyuntikkan modal kerja untuk Takaful sebesar Rp. 9,66 miliar melebihi ketentuan modal minimal yang ditetapkan dalam PP No.39/2008 sebesar Rp. 5 miliar per akhir tahun 2008 lalu.

"Selama kurun waktu 4 tahun, Jasindo Takaful telah berkembang menjadi 33 kantor cabang dari sebelumnya sebanyak 19 kantor cabang, dengan pertumbuhan bisnis rata-rata 27,4% per tahun," ujar Eko.


Dikutip dari berbagai sumber: Press Release Asuransi Jasindo, Bisnis Indonesia, Kontan.

Climate Change Risk is Highest for Jakarta

The Indonesian capital, Jakarta, is the most vulnerable to climate change of all cities in Southeast Asia, reports The Jakarta Post citing the Singapore-based Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA).


The EEPSEA report, prepared by economists Arief Anshory Yusuf and Herminia Francisco, reveals Jakarta is vulnerable to all types of climate-change related disasters except for tropical storms. "It is frequently exposed to regular flooding but most importantly, it is highly sensitive because it is among the most densely-populated regions in Southeast Asia."


The study also shows that all regions in the Philippines, Vietnam's Mekong River Delta, Cambodia, North and East Laos and Bangkok are vulnerable.


Thailand and Malaysia are the most capable of adapting to the impact of climate change, according to the report. "Overall, the areas with relatively high adaptive capacities are in Thailand, Malaysia and Vietnam."


EEPSEA, established in 1993, supports research and training in environmental and economics studies. It is backed by several overseas development agencies.


Source: Asia Insurance Review

Sunday 25 January 2009

Peluang Asuransi Syariah masih Terbuka

Bisnis keuangan berbasis syariah terutama untuk asuransi masih menjadi salah satu jalur usaha yang berpeluang besar memanfaatkan situasi krisis keuangan global.

Pasalnya, bisnis itu dituntut untuk membuat produk yang taylor-made dan terjangkau dengan daya beli masyarakat. Selain itu, produk asuransi syariah yang mengandung unsur saving, protection, transparan, selalu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.

Presiden Direktur PT Asuransi Syariah Mubarakah, Salim Al Bakry mengatakan, di tengah krisis keuangan global, dunia sedang mencari alternatif solusi atas krisis yang dialami akibat kapitalisme yang sudah bangkrut. Alternatif itu dengan merambah bisnis syariah.

"Ini ditandai dengan berdirinya institusi syariah di Inggris, Jerman, Hongkong, Kanada, Singapura, dan berbagai negara lainnya," kata Salim di Jakarta.

Sebagai satu-satunya asuransi syariah yang murni syariah dan sahamnya dimiliki 100 persen modal dalam negeri, menurut Salim, PT Asuransi Syariah Mubarakah melihat peluang tersebut cukup baik untuk dimanfaatkan dalam upaya membesarkan asuransi berlandaskan syariah.

"Makanya, kami optimistis target premi tahun ini sebesar Rp 1,6 triliun bisa tercapai," ujar Salim.

Sedangkan Direktur Marketing PT Asuransi Syariah Mubarakah, Parmin S Wijoyo menambahkan, saat ini asuransi tersebut memiliki 32 cabang di seluruh Indonesia dengan 11 kantor pelayanan.

Tahun ini, perusahaan asuransi Syariah Mubarakah menargetkan menjadi asuransi terbesar se-Asia Tenggara.

"Target itu bisa tercapai pertama karena penduduk Indonesia mayoritas Muslim yang juga terbanyak di dunia, dan kedua pertumbuhan ekonomi yang Insya Allah akan membaik di masa depan serta ketetapan hati para pemegang saham yang tak akan menjual sahamnya kepada pihak asing," kata Parmin.



Sumber: Surya

Saturday 24 January 2009

Perhitungan Baru BTSM (Batas Tingkat Solvabilitas Minimum)

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menerbitkan aturan baru tentang Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM). Ketentuan yang termuat dalam Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor PER-0 02/BL/2009 tersebut, berlaku untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.

BTSM merupakan jumlah minimum tingkat solvabilitas yang harus dimilik.i Nilainya harus memadai untuk menutup potensi kerugian, baik yang muncul dari resiko akibat penyimpangan atau deviasi pengelolaan kekayaan maupun kewajiban.

Ketua Bapepam-LK Fuad Rachmany mengatakan, aturan ini sudah dipersiapkan sebelum krisis. "Aturan ini bertujuan memastikan perhitungan BTSM lebih akurat," tutur Fuad, kemarin (21/1).

Dalam siaran pers Bapepam-LK disebutkan, penyesuaian perhitungan dan jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko atas komponen BTSM berlaku untuk perusahaan asuransi konvensional, perusahaan asuransi yang menjual produk terkait investasi, serta perusahaan asuransi syariah.

Ada lima komponen dalam perhitungan BTSM perusahaan asuransi konvensional. Masing-masing adalah kegagalan pengelolaan kekayaan, ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam tiap jenis mata uang. Berikutnya, perbedaan antara beban klaim perkiraan dan yang sesungguhnya. Terakhir, kurangnya premi akibat perbedaan asumsi hasil investasi dan hasil sesungguhnya.

Adapun penyesuaian perhitungan dalam asuransi syariah hanya berlaku untuk perusahaan asuransi yang sudah memisahkan pencatatan dana perusahaan dan dana tabaru. Komponen perhitungan dana tabaru yang mengalami perubahan.

Peraturan tersebut mulai berlaku untuk penyusunan laporan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi per 31 Desember 2008.

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) M. Shaifie Zein belum bersedia mengomentari aturan asuransi dan reasuransi yang baru ini. "Nanti saja, kalau saya sudah memegang peraturan itu," tutur Shaifie.


Dikutip dari KONTAN - Magdalena Sihite

Saturday 17 January 2009

AAUI Cabut Uji Materi PP 39 / 2008

Jumat, 16/01/2009

AAUI cabut uji materi PP No. 39/2008

AAUI cabut uji materi PP No. 39/2008JAKARTA: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) akhirnya mencabut uji materi atas PP No. 39/2008 di Mahkamah Agung pascapenerbitan PP No. 81/2008 walaupun tidak sepenuhnya mengakomodasi keberatan asosiasi terkait dengan dana jaminan. (lihat tabel)

PP No. 81/2008 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian mengubah jadwal pemenuhan persyaratan permodalan untuk perusahaan asuransi dan reasuransi yang diatur dalam PP No. 39/2008.


Usulan dan keptusan penahapan permodalan (Rp miliar)

Tahun

PP 39/2008

Usulan AAUI

PP 81/2008

Asuransi Reasuransi Asuransi Reasuransi Asuransi Reasuransi
2008 40 100
2009 70 150
2010 100 200 40 100
2011 40 100
2012 70 150
2013 70 150
2014 100 200
2015 100 200


“Dengan perubahan ini maka tim ad hoc dan AAUI hari ini akan mencabut uji materi di MA,” tutur Ketua AAUI Kornelius Simanjuntak dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Kornelius mengatakan PP No. 81/2008 itu telah mengakhiri kekhawatiran dan kecemasan terjadinya likuidasi terhadap perusahaan asuransi kecil dan juga meningkatnya pengangguran.

Dia mengakui uji materi yang diajukan asosiasi bukan hanya menyangkut besaran dan penahapan permodalan yang tercantum dalam PP No. 39/2008 pasal 6A ayat 1, Pasal 6B ayat 1, dan pasal 6B ayat 2, tetapi juga sejumlah pasal lain.

Pasal lain yang menjadi keberatan AAUI adalah pasal 7 ayat 1 tentang kewajiban perusahaan asuransi dan reasuransi memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya 20% modal disetor minimum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6A ayat 1.

Meski PP No. 81/2008 tidak mengakomodasi dana jaminan, AAUI memutuskan mencabut uji materi di MA.

“Dengan mundurnya pelaksanaan pemenuhan modal maka pemenuhan dana jaminan juga mundur jadi 2010, sehingga kami punya cukup waktu untuk mengamati perkembangan,” ujarnya.

AAUI mengharapkan agar pemerintah tidak terburu-buru dalam membuat kebijakan terutama yang berdampak serius terhadap pelaku bisnis khususnya di bidang keuangan.

“Kami tidak keberatan dibina, tetapi tentu aturan itu tidak menyulitkan kami,” ujar Ketua Tim Ad Hoc PP No.39/2008 bentukan AAUI Syarifuddin Harahap.

Oleh Hanna Prabandari
Bisnis Indonesia

Tuesday 13 January 2009

Tahukah anda..... aktifitas pertama reasuransi?


Tahukah anda, di tahun 1370 sudah terjadi transaksi reasuransi pertama.

Menurut catatan sejarah, tercatat pada tahun tersebut sudah terjadi kontrak Reasuransi (facultative) untuk kali pertama di dunia. Ketika itu, Tertanggung membeli polis asuransi pengangkutan (cargo) ke sebuah perusahaan asuransi di Italia (Pengasuh tidak berhasil mendapatkan nama perusahaan asuransi tsb - red). Polis ini memberikan pertanggungan atas pengiriman harta-benda yang akan dikirim dari kota Genoa (Genova) - Italia menuju Sluys di wilayah Flanders (sekarang di wilayah Belanda - Belgia).


Perusahaan asuransi tadi (sebut saja ITL) kemudian menyadari tingginya tingkat risiko yang akan dihadapi dalam perjalanan laut dari Genoa ke Sluys. ITL secara dasar memikirkan tingkat risiko yang akan dihadapi dan dilakukan pemilahan risiko, untuk selanjutnya membeli proteksi reasuransi secara individual (baca: facultative - red). Proteksi ini hanya untuk menjamin risiko ini dan hanya untuk menjamin sebagian risiko saja.

Risiko perjalanan laut dari Genoa sampai ke wilayah Cadiz di Spanyol, relatif masih dianggap aman (catat bahwa ini masih laut dangkal dan bukan merupakan open sea - red). ITL untuk itu masih berani mena
nggung sendiri risiko pengangkutan samapi wilayah ini.

Untuk perjalanan selanjutnya, dari Cadiz ke Sluys, yang harus melalui samudra terbuka (open sea) dan laut dalam, jelas mengandung risiko lebih tinggi, ITL membeli proteksi reasuransi (facultative) di atas.

Dari peristiwa di atas, tercatat bahwa Asuradur sudah menerapkan sebuah prinsip manajemen risiko dengan baik, dimana Asuradur sudah melakukan selection of risk dan menentukan degree of rizk / hazard.

Untuk risiko yang lebih baik (relatif aman), Asuradur berani (dan confident) untuk menanggung sendiri risiko tsb. Sedangkan untuk risiko yang lebih tinggi (hazardous) dan tidak terukur, Asuradur tidak berani untuk menanggungnya sendiri, ia mengalihkannya ke pihak lain (d
alam hal ini Reasuradur).

Prinsip ini terus berlaku hingga masa kini. Sebagai reminder, proses manajemen risiko merupakan dasar dari aktifitas industri asuransi dan reasuransi.

EHN

Wednesday 7 January 2009

History of Insurance - Wikipedia

History of insurance

From Wikipedia, the free encyclopedia

History of insurance refers to the development of a modern laws and market in insurance against risks. In some sense we can say that insurance appears simultaneously with the appearance of human society. We know of two types of economies in human societies: money economies (with markets, money, financial instruments and so on) and non-money or natural economies (without money, markets, financial instruments and so on). The second type is a more ancient form than the first. In such an economy and community, we can see insurance in the form of people helping each other. For example, if a house burns down, the members of the community help build a new one. Should the same thing happen to one's neighbour, the other neighbours must help. Otherwise, neighbours will not receive help in the future.

Ancient world

Turning to insurance in the modern sense (i.e., insurance in a modern money economy, in which insurance is part of the financial sphere), early methods of transferring or distributing risk were practiced by Chinese and Babylonian traders as long ago as the 3rd and 2nd millennia BC, respectively. Chinese merchants travelling treacherous river rapids would redistribute their wares across many vessels to limit the loss due to any single vessel's capsizing. The Babylonians developed a system which was recorded in the famous Code of Hammurabi, c. 1750 BC, and practiced by early Mediterranean sailing merchants. If a merchant received a loan to fund his shipment, he would pay the lender an additional sum in exchange for the lender's guarantee to cancel the loan should the shipment be stolen.

Achaemenian monarchs were the first to insure their people and made it official by registering the insuring process in governmental notary offices. The insurance tradition was performed each year in Nowruz (beginning of the Iranian New Year); the heads of different ethnic groups as well as others willing to take part, presented gifts to the monarch. The most important gift was presented during a special ceremony. When a gift was worth more than 10,000 Derrik (Achaemenian gold coin) the issue was registered in a special office. This was advantageous to those who presented such special gifts. For others, the presents were fairly assessed by the confidants of the court. Then the assessment was registered in special offices.

The purpose of registering was that whenever the person who presented the gift registered by the court was in trouble, the monarch and the court would help him. Jahez, a historian and writer, writes in one of his books on ancient Iran: "[W]henever the owner of the present is in trouble or wants to construct a building, set up a feast, have his children married, etc. the one in charge of this in the court would check the registration. If the registered amount exceeded 10,000 Derrik, he or she would receive an amount of twice as much."

A thousand years later, the inhabitants of Rhodes invented the concept of the 'general average'. Merchants whose goods were being shipped together would pay a proportionally divided premium which would be used to reimburse any merchant whose goods were jettisoned during storm or sinkage.

The Greeks and Romans introduced the origins of health and life insurance c. 600 AD when they organized guilds called "benevolent societies" which cared for the families and paid funeral expenses of members upon death. Guilds in the Middle Ages served a similar purpose. The Talmud deals with several aspects of insuring goods. Before insurance was established in the late 17th century, "friendly societies" existed in England, in which people donated amounts of money to a general sum that could be used for emergencies.

Early modern

Separate insurance contracts (i.e., insurance policies not bundled with loans or other kinds of contracts) were invented in Genoa in the 14th century, as were insurance pools backed by pledges of landed estates. These new insurance contracts allowed insurance to be separated from investment, a separation of roles that first proved useful in marine insurance. Insurance became far more sophisticated in post-Renaissance Europe, and specialized varieties developed.

Toward the end of the seventeenth century, London's growing importance as a centre for trade increased demand for marine insurance. In the late 1680s, Mr. Edward Lloyd opened a coffee house that became a popular haunt of ship owners, merchants, and ships’ captains, and thereby a reliable source of the latest shipping news. It became the meeting place for parties wishing to insure cargoes and ships, and those willing to underwrite such ventures. Today, Lloyd's of London remains the leading market (note that it is not an insurance company) for marine and other specialist types of insurance, but it works rather differently than the more familiar kinds of insurance.

Insurance as we know it today can be traced to the Great Fire of London, which in 1666 devoured 13,200 houses. In the aftermath of this disaster, Nicholas Barbon opened an office to insure buildings. In 1680, he established England's first fire insurance company, "The Fire Office," to insure brick and frame homes.

The concept of health insurance was proposed in 1694 by Hugh the Elder Chamberlen from the Peter Chamberlen family. In the late 19th century, "accident insurance" began to be available, which operated much like modern disability insurance..This payment model continued until the start of the 20th century in some jurisdictions (like California), where all laws regulating health insurance actually referred to disability insurance.

The first insurance company in the United States underwrote fire insurance and was formed in Charles Town (modern-day Charleston), South Carolina in 1732, but it provided only fire insurance.

Industrial revolution

Benjamin Franklin helped to popularize and make standard the practice of insurance, particularly against fire in the form of perpetual insurance. In 1752, he founded the Philadelphia Contributionship for the Insurance of Houses from Loss by Fire. Franklin's company was the first to make contributions toward fire prevention. Not only did his company warn against certain fire hazards, it refused to insure certain buildings where the risk of fire was too great, such as all wooden houses.

The sale of life insurance in the U.S. began in the late 1760s. The Presbyterian Synods in Philadelphia and New York created the Corporation for Relief of Poor and Distressed Widows and Children of Presbyterian Ministers in 1759; Episcopalian priests organized a similar fund in 1769. Between 1787 and 1837 more than two dozen life insurance companies were started, but fewer than half a dozen survived.

Prior to the American Civil War, many insurance companies in the United States insured the lives of slaves for their owners. In response to bills passed in California in 2001 and in Illinois in 2003, the companies have been required to search their records for such policies. New York Life for example reported that Nautilus sold 485 slaveholder life insurance policies during a two-year period in the 1840s; they added that their trustees voted to end the sale of such policies 15 years before the Emancipation Proclamation.

Modern health insurance

Accident insurance was first offered in the United States by the Franklin Health Assurance Company of Massachusetts. This firm, founded in 1850, offered insurance against injuries arising from railroad and steamboat accidents. Sixty organizations were offering accident insurance in the US by 1866, but the industry consolidated rapidly soon thereafter. While there were earlier experiments, the origins of sickness coverage in the US effectively date from 1890. The first employer-sponsored group disability policy was issued in 1911.

Before the development of medical expense insurance, patients were expected to pay all other health care costs out of their own pockets, under what is known as the fee-for-service business model. During the middle to late 20th century, traditional disability insurance evolved into modern health insurance programs. Today, most comprehensive private health insurance programs cover the cost of routine, preventive, and emergency health care procedures, and also most prescription drugs, but this was not always the case.

Hospital and medical expense policies were introduced during the first half of the 20th century. During the 1920s, individual hospitals began offering services to individuals on a pre-paid basis, eventually leading to the development of Blue Cross organizations.The predecessors of today's Health Maintenance Organizations (HMOs) originated beginning in 1929, through the 1930s and on during World War II.

In the United States, regulation of the insurance industry is highly Balkanized, with primary responsibility assumed by individual state insurance departments. Whereas insurance markets have become centralized nationally and internationally, state insurance commissioners operate individually, though at times in concert through a national insurance commissioners' organization. In recent years, some have called for a dual state and federal regulatory system for insurance similar to that which oversees state banks and national banks.


Source: Wikipedia - the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_insurance

Tuesday 6 January 2009

Reinsurance - from Wikipedia

Reinsurance

From Wikipedia, the free encyclopedia

Reinsurance is a means by which an insurance company can protect itself with other insurance companies against the risk of losses. Individuals and corporations obtain insurance policies to provide protection for various risks (hurricanes, earthquakes, lawsuits, collisions, sickness and death, etc.). Reinsurers, in turn, provide insurance to insurance companies.

Functions of reinsurance

There are many reasons why an insurance company would choose to reinsure as part of its responsibility to manage a portfolio of risks for the benefit of its policyholders and investors.

Risk transfer

The main use of any insurer that might practice reinsurance is to allow the company to assume greater individual risks than its size would otherwise allow, and to protect a company against losses. Reinsurance allows an insurance company to offer higher limits of protection to a policyholder than its own assets would allow. For example, if the principal insurance company can write only $10 million in limits on any given policy, it can reinsure (or cede) the amount of the limits in excess of $10 million.

Reinsurance’s highly refined uses in recent years include applications where reinsurance was used as part of a carefully planned hedge strategy.

Income smoothing

Reinsurance can help to make an insurance company’s results more predictable by absorbing larger losses and reducing the amount of capital needed to provide coverage.

Surplus relief

An insurance company's writings are limited by its balance sheet (this test is known as the solvencyquota share basis and is an efficient way of not having to turn clients away or raise additional capital. margin). When that limit is reached, an insurer can do one of the following: stop writing new business, increase its capital, or buy "surplus relief" reinsurance. Buying reinsurance is usually done on a

Arbitrage

The insurance company may be motivated by arbitrage in purchasing reinsurance coverage at a lower rate than what they charge the insured for the underlying risk.

Reinsurer's Expertise

The insurance company may want to avail of the expertise of a reinsurer in regard to a specific (specialised) risk or want to avail of their rating ability in odd risks.

Creating a manageable and profitable portfolio of insured risks

By choosing a particular type of reinsurance method, the insurance company may be able to create a more balanced and homogenous portfolio of insured risks. This would lend greater predictability to the portfolio results on net basis (after reinsurance) and would be reflected in income smoothing. While income smoothing is one of the objectives of reinsurance arrangements, the mechanism is by way of balancing the portfolio.

Managing cost of capital for an insurance company

By getting a suitable reinsurance, the insurance company may be able to substitute "capital needed" as per the requirements of the regulator for premium written. It could happen that the writing of insurance business requires x amount of capital with y% of cost of capital and reinsurance cost is less than x*y%. Thus more unpredictable or less frequent the likelihood of an insured loss, more profitable it can be for an insurance company to seek reinsurance.

Types of reinsurance

Proportional

Proportional reinsurance (the types of which are quota share & surplus reinsurance) involves one or more reinsurers taking a stated percent share of each policy that an insurer produces ("writes"). This means that the reinsurer will receive that stated percentage of each dollar of premiums and will pay that percentage of each dollar of losses. In addition, the reinsurer will allow a "ceding commission" to the insurer to compensate the insurer for the costs of writing and administering the business (agents' commissions, modeling, paperwork, etc.).

The insurer may seek such coverage for several reasons. First, the insurer may not have sufficient capital to prudently retain all of the exposure that it is capable of producing. For example, it may only be able to offer $1 million in coverage, but by purchasing proportional reinsurance it might double or triple that limit. Premiums and losses are then shared on a pro rata basis. For example, an insurance company might purchase a 50% quota share treaty; in this case they would share half of all premium and losses with the reinsurer. In a 75% quota share, they would share (cede) 3/4 of all premiums and losses.

The other form of proportional reinsurance is surplus share or surplus of line treaty. In this case, a retained “line” is defined as the ceding company's retention - say $100,000. In a 9 line surplus treaty the reinsurer would then accept up to $900,000 (9 lines). So if the insurance company issues a policy for $100,000, they would keep all of the premiums and losses from that policy. If they issue a $200,000 policy, they would give (cede) half of the premiums and losses to the reinsurer (1 line each). The maximum underwriting capacity of the cedant would be $ 1,000,000 in this example. Surplus treaties are also known as variable quota shares.

Non-proportional

Non-proportional reinsurance only responds if the loss suffered by the insurer exceeds a certain amount, which is called the "retention" or "priority." An example of this form of reinsurance is where the insurer is prepared to accept a loss of $1 million for any loss which may occur and they purchase a layer of reinsurance of $4 million in excess of $1 million. If a loss of $3 million occurs, the insurer pays the $3 million to the insured, and then recovers $2 million from its reinsurer(s). In this example, the reinsured will retain any loss exceeding $5 million unless they have purchased a further excess layer (second layer) of say $10 million excess of $5 million.

The main forms of non-proportional reinsurance are excess of loss and stop loss.

Excess of loss reinsurance can have three forms - "Per Risk XL" (Working XL), "Per Occurrence or Per Event XL" (Catastrophe or Cat XL), and "Aggregate XL". In per risk, the cedant’s insurance policy limits are greater than the reinsurance retention. For example, an insurance company might insure commercial property risks with policy limits up to $10 million, and then buy per risk reinsurance of $5 million in excess of $5 million. In this case a loss of $6 million on that policy will result in the recovery of $1 million from the reinsurer.

In catastrophe excess of loss, the cedant’s per risk retention is usually less than the cat reinsurance retention (this is not important as these contracts usually contain a 2 risk warranty i.e. they are designed to protect the reinsured against catastrophic events that involve more than 1 policy). For example, an insurance company issues homeowner's policies with limits of up to $500,000 and then buys catastrophe reinsurance of $22,000,000 in excess of $3,000,000. In that case, the insurance company would only recover from reinsurers in the event of multiple policy losses in one event (i.e., hurricane, earthquake, flood, etc.).

Aggregate XL affords a frequency protection to the reinsured. For instance if the company retains $1 million net any one vessel, the cover $10 million in the aggregate excess $5 million in the aggregate would equate to 10 total losses in excess of 5 total losses (or more partial losses). Aggregate covers can also be linked to the cedant's gross premium income during a 12 month period, with limit and deductible expressed as percentages and amounts. Such covers are then known as "Stop Loss" or annual aggregate XL.

Risk-attaching Basis

A basis under which reinsurance is provided for claims arising from policies commencing during the period to which the reinsurance relates. The insurer knows there is coverage for the whole policy period when written.

All claims from cedant underlying policies incepting during the period of the reinsurance contract are covered even if they occur after the expiration date of the reinsurance contract. Any claims from cedant underlying policies incepting outside the period of the reinsurance contract are not covered even if they occur during the period of the reinsurance contract.

Loss-occurring Basis

A Reinsurance treaty from under which all claims occurring during the period of the contract, irrespective of when the underlying policies incepted, are covered. Any claims occurring after the contract expiration date are not covered.

As opposed to claims-made policy. Insurance coverage is provided for losses occurring in the defined period. This is the usual basis of cover for most policies.

Claims-made Basis

A policy which covers all claims reported to an insurer within the policy period irrespective of when they occurred.

Contracts

Most of the above examples concern reinsurance contracts that cover more than one policy (treaty). Reinsurance can also be purchased on a per policy basis, in which case it is known as facultative reinsurance. Facultative reinsurance can be written on either a quota share or excess of loss basis. Facultative reinsurance is commonly used for large or unusual risks that do not fit within standard reinsurance treaties due to their exclusions. The term of a facultative agreement coincides with the term of the policy. Facultative reinsurance is usually purchased by the insurance underwriter who underwrote the original insurance policy, whereas treaty reinsurance is typically purchased by a senior executive at the insurance company.

Reinsurance treaties can either be written on a “continuous” or “term” basis. A continuous contract continues indefinitely, but generally has a “notice” period whereby either party can give its intent to cancel or amend the treaty within 90 days. A term agreement has a built-in expiration date. It is common for insurers and reinsurers to have long term relationships that span many years.

Markets

Most reinsurance placements are not placed with a single reinsurer but are shared between a number of reinsurers. For example a $30,000,000 excess of $20,000,000 layer may be shared by 30 or more reinsurers. The reinsurer who sets the terms (premium and contract conditions) for the reinsurance contract is called the lead reinsurer; the other companies subscribing to the contract are called following reinsurers.

About half of all reinsurance is handled by reinsurance brokers who then place business with reinsurance companies. The other half is with “direct writing” reinsurers who have their own production staff and thus reinsure insurance companies directly. In Europe reinsurers write both direct and brokered accounts.

Using game-theoretic modeling, Professors Michael R. Powers (Temple University) and Martin Shubik (Yale University) have argued that the number of active reinsurers in a given national market should be approximately equal to the square-root of the number of primary insurers active in the same market.[1] Econometric analysis has provided empirical support for the Powers-Shubik rule.[2]

Insurers (that is to say, reinsureds) tend to choose their reinsurers with great care as they are exchanging insurance risk for credit risk. Risk managers monitor reinsurers' financial ratings (S&P, A.M. Best, etc.) and aggregated exposures regularly.

Top Reinsurers

(Based on the last company figures)

Retrocession

Reinsurance companies themselves also purchase reinsurance and this is known as a retrocession. They purchase this reinsurance from other reinsurance companies. The reinsurance company who sells the reinsurance in this scenario are known as “retrocessionaires.” The reinsurance company that purchases the reinsurance is known as the “retrocedent.”

It is not unusual for a reinsurer to buy reinsurance protection from other reinsurers. For example, a reinsurer that provides proportional, or pro rata, reinsurance capacity to insurance companies may wish to protect its own exposure to catastrophes by buying excess of loss protection. Another situation would be that a reinsurer which provides excess of loss reinsurance protection may wish to protect itself against an accumulation of losses in different branches of business which may all become affected by the same catastrophe. This may happen when a windstorm causes damage to property, automobiles, boats, aircraft and loss of life, for example.

This process can sometimes continue until the original reinsurance company unknowingly gets some of its own business (and therefore its own liabilities) back. This is known as a “spiral” and was common in some specialty lines of business such as marine and aviation. Sophisticated reinsurance companies are aware of this danger and through careful underwriting attempt to avoid it.

In the 1980s, the London market was badly affected by the creation of reinsurance spirals. This resulted in the same loss going around the market thereby artificially inflating market loss figures of big claims (such as the Piper Alpha oil rig). The LMX spiral (as it was called) has been stopped by excluding retrocessional business from reinsurance covers protecting direct insurance accounts.

It is important to note that the insurance company is obliged to indemnify its policyholder for the loss under the insurance policy whether or not the reinsurer reimburses the insurer. Many insurance companies have experienced difficulties by purchasing reinsurance from companies that did not or could not pay their share of the loss (these unpaid claims are known as uncollectibles). This is particularly important on long-tail lines of business where the claims may arise many years after the premium is paid.


Source: Wikipedia - the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Reinsurance