Tuesday 24 February 2009

Reasuransi Non-Proportional

Penempatan reasuransi bisa pula dilakukan secara non-proportional, dimana tidak ada kesimbangan antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang mengadakan perjanjian dalam hal pembagian risiko, premi dan liability ketika terjadi kerugian.

Perusahaan reasuransi yang sudah menerima premi sejak awal dan memperoleh exposure risiko sebagai konsekwensi-nya, tidak serta merta menjadi liable ketika terjadi klaim. Pada reasuransi non-proportional ini, ditentukan suatu nilai tertentu sebagai batasan klaim mana yang menjadi beban perusahaan asuransi maupun yang nantinya bisa ditagihkan ke perusahaan reasuransi.

Nilai ini dikenal sebagai deductible atau excess point atau priority atau net retention atau underlying retention.


Misalnya, untuk penutupan sebuah obyek bernilai IDR 100 milyar. Disepakati bahwa IDR 10 milyar merupakan excess point. Semisal premi yang harus dibayarkan oleh seorang tertanggung atas polis asuransi tersebut sebesar IDR 200 juta. Pembagian premi antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi tidak berdasarkan suatu porsi tersendiri (non-proportional). Perhitungan premi resuransi non-proportional dilakukan terpisah. Misalnya menggunakan exposure rating, dsb.

Bisa jadi, dengan beban risiko sebesar IDR 90 milyar (90%) yang ditanggung oleh perusahaan reasuransi, premi yang diterima hanya sebesar IDR 40 juta (20%). Sementara perusahaan asuransi yang menanggung beban risiko sebesar 10% (IDR 10 milyar) menerima porsi premi sebesar 80% (IDR 180 juta).

Untuk diingat, memang dalam reasuransi non-proportional, tidak ada keseimbangan di antara komponen risiko, premi dan liability.

Demikian pula halnya ketika terjadi klaim, misalnya sebesar IDR 1,5 milyar. Maka 100% klaim ditanggung sendiri oleh perusahaan asuransi. Demikian pula halnya bila terjadi klaim lain sebesar IDR 8,5 milyar, semua klaim juga ditanggung sendiri oleh perusahaan asuransi.

Perusahaan reasuransi hanya terlibat manakala terjadi klaim di atas IDR 10 milyar. Misalnya terjadi klaim lain lagi sebesar IDR 50 milyar, maka beban perusahaan asuransi adalah sebesar IDR 10 milyar, sedangkan sisanya sebesar IDR 40 milyar ditagihkan ke perusahaan reasuransi.

Contoh yang sesuai menggambarkan mekanisme reasuransi non-proportional ini adalah dalam hal penutupan asuransi pada umumnya. Ambil contoh pada kasus asuransi kendaraan bermotorm.

Seorang tertanggung yang memiliki obyek bernilai IDR 100 juta, membayar premi IDR 3 juta. Polis asuransi mengatur own retention sebesar IDR 200 ribu.

Sepanjang periode polis, walaupun secara kontrak disebutkan bahwa perusahaan asuransi akan memberikan ganti rugi kepada nasabahnya manakala terjadi musibah, tetapi tidak setiap kerugian membuat perusahaan asuransi menjadi liable.

Misalnya ketika nasabahnya mengalami kehilangan tutup pentil ban, seharga IDR 5 ribu. Klaim ini secara contractual bisa ditagihkan ke perusahaan asuransi. Namun perusahaan asuransi serta merta akan menolak klaim, karena nilain klaim-nya masih dalam tanggungan sendiri nasabah.

Bila nasabah menderita kerugian akibat tabrakan senilai IDR 4 juta, maka klaim ini bisa ditagihkan ke perusahaan asuransi. Ganti rugi yang diberikan adalah sebesar IDR 3,8 juta (setelah dikurangi own retention).

Reasuransi non-proportional umumnya menggunakan loss occurring basis, dimana perusahaan reasuransi hanya akan liable atas klaim sesuai dengan periode terjadinya klaim --- bukan berdasarkan periode terbitnya polis.


*_*








*_* *_* *_* *_* *_* *_* *_* *_*





for a greener life -

our mother earth is in need of help... we actually can do a little help... think twice - or even trice - before printing this message...





*_* *_* *_* *_* *_* *_* *_* *_*

Proportional Reinsurance

Penempatan Reasuransi bisa dilakukan secara Proportional, artinya terdapat keseimbangan antara (1) besaran risiko (2) premi dan (3) liability bilamana terjadi klaim.

Ketiga elemen di atas akan terus berjalan secara seimbang pada setiap kesempatan.

Semisal pada suatu penutupan risiko bernilai IDR 150 milyar. Dengan kapasitas akseptasi yang dimiliki oleh sebuah perusahaan asuransi sebesar IDR 50 milyar, maka terdapat excess (kelebihan) risiko sebesar IDR 100 milyar lagi. Untuk itu perusahaan asuransi membutuhkan mekanisme reasuransi untuk mengalihkan risiko tsb (sesuai peraturan perundangan yang berlaku - red).

Apabila perusahaan asuransi itu mengambil cara dengan men-sesikan risiko (excess tadi) kepada para perusahaan reasuransi secara proportional, maka 1/3 merupakan bagian dari perusahaan asuransi, sedangkan 2/3 bagian perusahaan reasuransi.

Porsi 1/3 dan 2/3 ini bertahan terus untuk perhitungan (1) pembagian risiko, (2) pembagian premi, dan (3) pembagian klaim.

Bila premi yang harus dibayarkan oleh tertanggung untuk penutupan di atas adalah sebesar IDR 45 juta, maka IDR 15 juta (= 1/3 bagian) merupakan hak perusahaan asuransi dan IDR 30 juta (= 2/3 bagian) merupakan hak perusahaan reasuransi.

Bilamana terjadi klaim, misalnya sebesar IDR 30 milyar. Perusahaan asuransi hanya akan menanggung klaim sebesar IDR 10 milyar (= 1/3 bagian) sedangkan sisanya ditagihkan ke reasuradur (= 2/3 bagian = IDR 20 milyar).

Demikian pula halnya bila terjadi klaim lain sebesar IDR 1 (satu rupiah). Walaupun bernilai sangat kecil, namun bukan berarti perusahaan asuransi akan menanggung seluruh klaim tsb. Perusahaan reasuransi yang sudah menerima premi, tetap liable atas klaim dan menanggung IDR 0,67 (= 2/3 bagian klaim). Sedangkan perusahaan asuransi hanya menanggung IDR 0,33.

Contoh sederhana pada proses Reasuransi Proportional ini adalah pada saat tiga orang bersepakat untuk membuat partnership pada suatu usaha. Bila usaha tersebut membutuhkan dana sebesar IDR 300 juta, maka masing-masing pihak akan dimintakan berpatungan sebesar IDR 100 juta (masing-masing 1/3 bagian).. Bila usaha itu kelak menghasilkan laba sebesar IDR 45 juta, maka masing-masing pihak akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp.. 15 juta (masing-masing 1/3 bagian). Di sisi lain, apabila usaha itu menyebabkan kerugian sebesar IDR 15 juta, maka masing-masing pihak akan dimintakan dana sebesar IDR 5 juta untuk menutupi kerugian tsb.

Satu catatan tambahan dalam penempatan reasuransi proportional ini bahwa pada umumnya, hubungan antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi berdasarkan risk attaching, artinya melihat pada periode dimana risiko mulai melekat (polis mulai terbit).

Penempatan reasuransi proportional ini bisa dilakukan dalam bentuk facultative maupun treaty.

*_*







***


Our Mother Earth is in need of help. We actually can do a little help. Think twice --- or even trice --- before printing this message.


***



Please visit our website at www.belajar-asuransi.tk

Saturday 21 February 2009

Cermat dalam Memilih Asuransi

Krisis finansial yang melanda Amerika Serikat yang ditandai dengan ambruknya sejumlah lembaga pembiayaan seperti Lehman Broters membuat dampaknya dirasakan dunia.

Gelombang ancamannya membuat dunia ikut terkena dampaknya. Bursa global pun tak terkecuali, sektor ini yang merupakan lokasi investasi bagi segelintir orang dan perusahaan juga rontok. Bahkan,sejumlah negara menyiapkan paket stimulus untuk menyelamatkan krisis ini.

Dunia asuransi tidak terlepas dari bayang-bayang krisis ini, khususnya yang berbentuk unit link. Hal ini karena instrumen investasi asuransi unit link yang sebagian dananya disimpan dalam bentuk investasi di bursa.Dengan kondisi bursa yang mulai rontok, tentu akan membuat asuransi yang berbasis ini akan mengalami pukulan hebat.

Pada 2009 ini, bahkan diprediksi prospek asuransi unit link akan tidak menjanjikan. Pasalnya,sumber investasi dana asuransi unit link seperti bursa ini sedang mengalami guncangan akibat pengaruh krisis ekonomi Amerika Serikat (AS). Asuransi yang berbasis investasi pada 2009 akan redup karena prospek investasi di bursa sedang turun.

Asuransi unit link yang berbasis investasi sekarang mempunyai risiko yang besar. Bahkan, asuransi unit link ini sebenarnya tidak pantas untuk disebut asuransi karena lebih menitikberatkan pada investasi daripada perlindungan diri.

Padahal sebagai hakikat asuransi lebih mengutamakan perlindungan daripada investasi sehingga orang-orang yang membeli asuransi akan terlindungi jika terjadi sesuatu pada dirinya. Kalau asuransi unit link itu mementingkan investasi sehingga sesungguhnya lebih disebut sebagai investasi yang diembel-embeli asuransi.

Hal ini diperumpamakan,dengan uang Rp100 juta, Rp99 juta itu untuk investasi, sedangkan Rp1 juta yang hanya untuk asuransi. Melihat perbandingan ini, apa pantas disebut sebagai asuransi.Makanya istilah yang telat adalah investasi yang ditempeli dengan asuransi.

Dengan demikian, dalam melihat prospek asuransi unit link ini sama dengan melihat prospek investasi lainnya.Pasalnya, lebih mengutamakan investasi,sedangkan sekarang kondisi bursa sedang tidak menentu, tentu prospek asuransi unit link sekarang menjadi tidak bagus. Maka investasi yang menekankan investasi pada saham di bursa dan reksa dana sekarang bukan langkah yang tepat.

Melihat perkembangan situasi sekarang yang masih belum menguntungkan bagi investasi di sana. Namun, hal ini apakah sudah diketahui para konsumen, juga masih ragukan.Apalagi bagi kaum awam yang belum terlalu paham dalam asuransi, maka model unit link menjadi sebuah pilihan.

Padahal dalam situasi sekarang, investasi pada asuransi jenis ini menjadi tidak menguntungkan. Komitmen kuat dari perusahaan serta agen untuk menawarkan produk asuransinya dengan jujur harus dilakukan. Mereka hendaknya memberikan penjelasan secara detail terhadap produk yang ditawarkan.

Jangan sampai konsumen menjadi korban akibat ulah mereka yang tidak transparan dalam menawarkan produk. Bagi masyarakat awam memahami asuransi unit link akan sulit sehingga mereka terkadang langsung membeli. Untuk itu, sebelum membeli produk asuransi jenis ini harus diperhatikan secara cermat berbagai keuntungan dan potensi yang didapatkan dari membeli setiap produk asuransi unit link yang ditawarkan.

Saat ini hampir semua perusahaan menjual produk asuransi unit link ini sehingga konsumen perlu lebih cermat agar tidak dirugikan.Transparansi dari setiap perusahaan dan agen dalam mempromosikan produk yang ditawarkan termasuk berbagai risiko dari produk yang dibeli. Dengan begitu, konsumen akan mengerti dan dapat menentukan pilihan yang tepat dalam membeli asuransi.

Saat ini sudah diperlukan langkah review ulang terhadap pemasaran produk unit link ini sehingga sebenarnya unit link yang merupakan investasi yang ditempeli asuransi ini lebih jelas. Sekarang banyak produk yang dijual dengan asuransi yang berbasis asuransi,ini harus diatur lebih lanjut oleh pemerintah sehingga ke depan produk ini benar-benar sesuai dengan tujuannya.

Walaupun prospek asuransi unit link ini pada tahun 2009 kurang laku,bukan berarti produk ini akan ditinggalkan. Namun, untuk konsumen yang ingin membeli asuransi hendaknya dapat mencermati produk yang ditawarkan sehingga dalam memutuskan untuk membeli tidak ada keraguan dan penyesalan di kemudian hari.

Dalam membeli asuransi saat ini,ada baiknya konsumen dapat melihat tujuan daripada pembelian. Jika memang menginginkan asuransi untuk perlindungan, maka belilah produk asuransi perlindungan yang tidak ada embel-embel investasinya.

Dengan langkah ini,maka konsumen tidak akan merugi. Pada intinya, jika ingin membeli asuransi, lihatlah kebutuhan yang Anda inginkan, dan beli produk yang benar-benar asuransi, bukan investasi yang ditempeli asuransi. Melainkan asuransi yang melindungi diri atau lainnya, tanpa ada embelembel investasi.



*)Disarikan dari wawancara

Oleh : Munir Sjamsoeddin

Friday 20 February 2009

Perseteruan Bakrie versus Bosowa Berakhir


Terbukti melakukan manipulasi data izin penyiaran, klaim asuransi milik Bakrie Corrugated terhadap Asuransi Bosowa gagal. Penolakan klaim oleh Bosowa bukan wanprestasi

PT Bakrie Corrugated Metal Industry (Bakrie) harus menelan pil pahit. Setelah dua tahun lebih memperjuangkan klaim asuransi ke PT Asuransi Bosowa Periskop (Bosowa), perjuangan itu kandas di tangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Gugatan ditolak seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Panusunan Harahap saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (18/2).

Bosowa tidak terbukti melakukan wanprestasi sebagaimana tudingan Bakrie. Majelis hakim menilai gugatan Bakrie hanya terfokus pada azas perlindungan asuransi. Namun Bakrie mengabaikan kewajiban untuk memenuhi syarat klaim yang ditentukan Marine Cargo Open Policy (MCOP)—polis asuransi atas pengangkutan barang di laut.

Walaupun penandatanganan perjanjian asuransi telah dilakukan, Bakrie tidak bisa mendapatan proteksi mutlak. Pengajuan klaim harus sesuai dengan syarat perlindungan dalam MCOP. Untuk itu, kata Majelis Hakim, klaim penggugat tidak berdasarkan hukum.

Sementara kuasa hukum Bakrie, Ramly, berpendapat jika perusahaan asuransi sudah menerbitkan polis, maka pertanggungan resiko sudah beralih. Sehingga Bosowa harus tetap membayarkan klaim ke Bakrie. Dengan tenggelamnya kapal tongkang, lanjut Ramly, Bakrie mengalami kerugian atas nilai barang. Kerugian lainnya adalah kehilangan pendapatan dan keuntungan, serta hilangnya kepercayaan pihak ketiga. Total kerugian senilai Rp18,438 miliar.

Dalam posita (dasar gugatan) dijelaskan, Bosowa telah cidera janji karena tidak membayar klaim asuransi atas kecelakaan kapal tongkang milik Bakrie. Dasar hukumnya adalah Pasal 1243 jo Pasal 1338 jo Pasal 1339 jo Pasal 1342 KUHPerdata.

Padahal Bakrie telah mengasuransikan kapal tongkang itu kepada Bosowa. Polis asuransi itu tercatat dalam MCOP No. 005/MCOP/ABP-JKT.CM/2006 tanggal 8 Maret 2006. Periode perlindungan diberikan 12 bulan terhitung sejak polis ditandatangani hingga 8 Maret 2007.

Setelah pelunasan pembayaran polis, Bakrie kemudian melakukan pengangkutan pertama pada 14 Agustus 2006. Pengangkutan yang tercatat dalam Schedule MCOP itu memuat material untuk pembangunan jembatan Batanghari II di Jambi. Namun belum sampai ke tujuan, kapal tongkang milik Bakrie mengalami kecelakaan sehingga barang-barang yang diangkut raib.

Menyembunyikan Fakta


Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai alat angkut penggugat tidak sesuai (unclassed). Penguggat terbukti menyembunyikan fakta itu. Dalam jawaban Bosowa dijelaskan, pengangkutan barang yang dijamin pertanggungan adalah pengangkutan laut yang menggunakan tongkang dengan jenis 100 gross register tonase (GRT). Sementara Bakrie menggunakan tongkang berjenis TB Virgo berbendera Indonesia yang hanya 51 GRT.

Bukti Standard Marine Communication Phrases (SMCP) yang diajukan penggugat pun diragukan Majelis Hakim. Sebab terdapat ada dua surat dengan nomor yang sama namun berbeda tanggal. Pengugat terbukti memaipulasi data izin berlayar sehingga prinsip kelaikan pengangkutan laut (sea worthy) tidak terpenuhi.

Dalam surat izin berlayar disebutkan, tidak ada muatan dalam kapal alias nil. Hal itu sesuai dengan Surat Pernyataan Keberangkatan Kapal (Sailing Declaration) tanggal 11 Agustus 2006. Nyatanya, saat terjadi kecelakaan pada 13 Agustus 2006, kapal tongkang memuat material untuk pembangunan jembatan Batanghari II di Jambi.

Selain itu, dalam MCOP disyaratkan, pertanggungan di atas Rp 3 miliar harus dilakukan survei yang lengkap (satisfactory surveyed) oleh Independent Marine Sureyor. Yakni pemeriksaan alat angkut secara keseluruhan, termasuk nilai dan jenis barang yang diangkut. Sementara survei Independent Marine Sureyor oleh PT Proteknika Jasapratama yang diajukan penggugat, terbatas pada towing and lasing survey (penarik dan pengikat survei).

Saat dihubungi melalui telepon, Ramly menyatakan akan berkonsultasi dengan dengan pihak Bakrie untuk menentukan sikap. Ia menyatakan belum bisa berkomentar banyak karena belum menerima salinan putusan. Ramly sendiri tidak hadir di persidangan.

Kuasa hukum Bosowa, Rudyantho, menyatakan pertimbangan hakim sudah sesuai dengan fakta dan bukti yang diajukan ke persidangan. “Kita puas apa yang kita perjuangkan bisa diterima dan meyakinkan hakim,’ ujarnya.

(Mon)

hukumonline.com





*_*
Our mother earth is in need of help. We actually can do a little help. Think twice - or even trice - before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
*_*

Monday 9 February 2009

KONTAN: Banyak Broker Asuransi Belum Penuhi Aturan Modal Minimum

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mengakui masih banyak broker asuransi yang belum memenuhi persyaratan modal minimum Rp 1 miliar.

Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata menyebutkan dari 140 broker asuransi yang beroperasi, baru 95 -100 perusahaan yang telah menyampaikan laporan keuangan mereka. Dari laporan keuangan itu terlihat cuma ada 65 broker asuransi yang telah memenuhi ketentuan modal minimum Rp 1 miliar. "Kami masih harus mengecek rencana kerja tiap perusahaan satu per satu," ujar Isa, Jumat (6/2).

Saat ini Bapepam sedang berkonsentrasi membereskan permodalan usaha broker asuransi. Setelah semua broker asuransi sehat dan berkinerja baik, tahapan selanjutnya adalah, menyehatkan perusahaan.

Bapepam juga terus mendesak broker asuransi agar segera menyelesaikan laporan keuangan mereka. Sedangkan bagi yang sudah memberikan laporan keuangan tapi modalnya masih dibawah ketentuan juga tak akan luput dari surat peringatan hingga pencabutan izin operasi perusahaan.

Bagi perusahaan yang belum menyampaikan laporan keuangan dan rencana kerja mereka, Bapepam LK masih memberikan tenggat waktu hingga Maret 2009.

Bapepam LK juga mendorong broker dan perusahaan asuransi yang cekak modal agar menggabungkan diri dengan perusahaan lain yang lebih sehat. Tapi hingga saat ini Isa mengaku belum ada satupun perusahaan yang mengajukan rencana merger.

Isa juga menyarankan kepada pemilik usaha asuransi yang tak sanggup menambah modal agar segera memenuhi kewajiban pada nasabahnya dan kemudian memutuskan untuk mengembalikan izin operasinya ke Bapepam. "Tapi, meskipun sudah ada perusahaan asuransi menyatakan self liquidation, Bapepam tetap mewajibkan ada laporan berkala," ujar Isa Rachmatarwata.

Bapepam LK tak cuma menertibkan asuransi konvensional. Sebab perusahaan asuransi syariah juga masih banyak yang modalnya kurang dari syarat Rp 5 miliar.

Source: KONTAN




***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

BISNIS INDONESIA: 25 Broker Asuransi Bermodal Cekak

25 Broker Asuransi Bermodal Cekak


Setidaknya sebanyak 25 perusahaan pialang asuransi dan reasuransi belum memenuhi ketentuan modal minimum Rp1 miliar yang harus dipenuhi 31 Desember 2008.

Jumlah tersebut merosot tajam dibandingkan dengan data yang dihimpun Biro Perasuransian Bapepam-LK berdasarkan laporan keuangan perusahaan 2007 di mana lebih dari 89 perusahaan pialang terdiri dari 78 asuransi dan 11 reasuransi belum memenuhi ketentuan itu.

Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata mengatakan jumlah itu kemungkinan bukan angka sebenarnya karena hingga akhir pekan lalu masih banyak perusahaan broker asuransi dan reasuransi yang belum menyampaikan laporannya. Padahal tenggat waktu penyerahan laporan 31 Januari sudah lewat.

Dia mengatakan dari sekitar 140 perusahaan pialang asuransi dan reasuransi, Biro Perasuransian baru menerima laporan dari sekitar 95-100 perusahaan.

"Sekitar 65 perusahaan sudah dipastikan memenuhi ketentuan modal Rp1 miliar," ujarnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut dia, dari laporan yang masuk itu sekitar 10 perusahaan sudah sangat mendekati angka yang dipersyaratkan atau di atas Rp900 juta.

"Walau mendekati tetap saja dalam laporan mereka belum memenuhi itu. Saya harus cek lagi apa ada laporan terpisah yang menyatakan adanya penambahan modal pada Januari sampai Maret ini," tuturnya.

Dia mengatakan 25 perusahaan yang memiliki modal di bawah Rp1 miliar itu juga belum tentu tidak memenuhi ketentuan modal. Isa mengatakan Biro Perasuransian akan mencocokkan rencana kerja perusahaan satu per satu dengan laporan yang masuk.

Merger


Isa mengatakan Biro Perasuransian belum berencana memfasilitasi merger antarperusahaan broker. Dia berharap Asosiasi Broker Asuransi dan Reasuransi Indonesia (ABAI) untuk berperan lebih aktif mendorong proses itu di industri.

"Rasanya effort asosiasi akan lebih efektif, sejauh ini tidak ada laporan mengenai kesulitan merger di broker."

Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Teknik, Kemajuan Anggota, dan Pendidikan ABAI Kristinan Benny Hapsoro mengakui kemungkinan angka perusahaan yang belum memenuhi ketentuan jauh lebih besar dari 25 perusahaan. Dia mengatakan biasanya perusahaan yang tidak memasukkan laporan juga bermasalah.

Menurut Benny pengurus asosiasi sudah berusaha mendapatkan data dari anggota untuk membantu proses merger di antara mereka, tetapi hingga tenggat waktu yang ditentukan permintaan itu tidak direspons. "Tanpa data kami tidak mengetahui siapa yang membutuhkan bantuan untuk merger," katanya.

PP No. 39/2008 mensyaratkan perusahaan asuransi memenuhi modal Rp100 miliar dan reasuransi Rp200 miliar pada 2010. Unit syariah Rp25 miliar dan perusahaan murni syariah Rp50 miliar.

Source: Bisnis Indonesia




***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Monday 2 February 2009

DETIK: 19 Izin Usaha Perusahaan Perasuransian Dicabut Selama 2008


Biro Perasuransian Bapepam LK, selama tahun 2008 telah mencabut 19 izin usaha perusahaan perasuransian. Sementara izin usaha baru diberikan kepada 10 perusahaan perasuransian di 2008.

Berikut rincian dari 19 izin usaha perusahaan perasuransian yang dicabut, seperti dikutip detikFinance dari laporan akhir tahun 2008 Bapepam LK, Kamis (1/1/2009).
  • Perusahaan Asuransi Jiwa: 1 perusahaan
  • Perusahaan Asuransi Kerugian: 2 perusahaan
  • Perusahaan Pialang Asuransi/Reasuransi: 7 perusahaan
  • Penilai Kerugian: 6 perusahaan
  • Konsultan Aktuaria: 3 perusahaan.

Sementara izin usaha perusahaan perasuransian yang diberikan selama tahun 2008 terdiri dari:
  • Pialang asuransi: 6 perusahaan
  • Konsultan Aktuaria: 1 perusahaan
  • Penilai kerugian asuransi: 1 perusahaan
  • Agen Asuransi: 2 perusahaan.

Bapepam mencatat, jumlah perusahaan asuransi di Indonesia hingga 19 Desember 2008 mencapai 382 perusahaan yang terdiri dari 140 perusahaan asuransi, 4 perusahaan reasuransi dan 238 perusahaan penunjang usaha asuransi.

Untuk perusahaan asuransi terdiri dari 45 perusahaan asuransi jiwa, 90 asuransi kerugian, 2 penyelenggara program asuransi sosial dan jamsistek, 3 perusahaan penyelenggaran asuransi untuk PNS dan TNI/Polri.

Perusahaan penunjang usaha asuransi terdiri dari 153 perusahaan pialang asuransi, 15 perusahaan pialang reasuransi, 28 perusahaan penilai kerugian asuransi, 32 perusahaan konsultan aktuaria dan 10 perusahaan agen asuransi.

Sepanjang tahun 2008, perusahaan asuransi jiwa yang memasarkan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau unitlink pada tahun 2008 mencapai 24 perusahaan.

Sedangkan jumlah permohonan persetujuan untuk memasarkan produk asuransi baru dari perusahaan asuransi jiwa dan asuransi kerugian pada tahun 2008 sebanyak 401 produk asuransi. Dari total permohonan persetujuan produk asuransi baru tersebut, jumlah yang disetujui adalah 233 produk baru, dengan 12 produk diantaranya adalah produk syariah.

Adapun permohonan untuk memasarkan produk asuransi melalui kerjasama dengan bank atau bancassurance dari perusahaan asuransi pada tahun 2008 mencapai 49. Dari total permohonan tersebut, jumlah yang disetujui adalah 25 permohonan, 1 diantaranya merupakan persetujuan bancassurance untuk memasarkan produk asuransi syariah.


Source: Detikfinance.com


***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***

Sunday 1 February 2009

Jasindo Peroleh Rating B++ dari AM BEST

Berdasarkan data yang diterima dari website resmi AM BEST (http://www.ambest.com/) diperoleh informasi bahwa PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau yang lebih dikenal sebagai Asuransi Jasindo, merupakan perusahaan asuransi pertama di Indonesia yang mendapatkan pengakuan dari AM Best. Adapun rating yang diperoleh adalah B++ (good) atau setara BBB di rating Standard & Poors.

Rating ini merupakan sebuah achivement yang cukup luar biasa, mengingat saat ini S&P sendiri masih menilai country risk (sovereign rating) negara Indonesia masih dalam level BB- (vulnerable), sedangkan AM BEST sendiri mengkategorikan Indonesia dalam TIER III.


Sebagaimana diketahui bahwa country risk merupakan salah satu faktor penilaian terpenting dalam menentukan rating sebuah perusahaan asuransi. Di dalam penilaian rating terdapat dua skala, yaitu NSR = nasional scale rating dan GSR = global scale rating. NSR tidak memperhitungkan country risk, karena hanya berlaku di negara ybs. Sedangkan GSR memperhitungkan segala aspek, termasuk country risk, karena rating ini nantinya berlaku setara di seluruh dunia. Rating level GSR ini yang diakui oleh regulasi di berbagai negara, utamanya bagi perusahaan asuransi dalam mencari panel reasuransi-nya (sebagaimana di Indonesia minimal BBB).


Sebagai informasi tambahan, bahwa sudah ada beberapa perusahaan asurasi & reasuransi di Indonesia yang sudah mendapatkan rating. Namun perlu ditegaskan kembali, bahwa rating-rating yang mereka peroleh hanyalah bersifat LOKAL dan tidak diakui di dunia internasional.


Selamat kami ucapkan kepada Manajemen Asuransi Jasindo yang sudah membuka jalan bagi perusahaan asuransi nasional untuk mendapatkan pengakuan secara internasional. Luar biasa!!!

Salam BELAJAR ASURANSI





source: www.ambest.com, www.yahoo.com


***
Our mother earth is in need of help.
We actually can do a little help.
Think twice before printing this message.
-
http://www.belajar-asuransi.tk
***